Senin, 25 Juni 2018

Kritik dan Esai Syair Lagu Muara Kasih Bunda

BundaEngkaulah muara kasih dan sayangApapun pasti kau lakukanDemi anakmu yang tersayang
BundaTak pernah kau berharap budi balasanAtas apa yang kau lakukanUntuk diriku yang kau sayang
Saat diriku dekat dalam sentuhanPeluk kasihmu dan sayangSaat ku jauh dari jangkauanDoa mu kau sertakan
Reff:Maafkan diriku bundaKadang tak sengaja ku membuat remah hatimu terlukaKuingin kau tahu bundaBetapa kumencintaimu lebih dari segalanya
Kumohon restu dalam langkahkuBahagiaku seiring doamu
BundaTak pernah kau berharap budi balasanAtas apa yang kau lakukanUntuk diriku yang kau sayang
Saat diriku dekat dalam sentuhanPeluk kasihmu dan sayangSaat ku jauh dari jangkauanDoa mu kau sertakan
Reff:Maafkan diriku bundaKadang tak sengaja ku membuat remah hatimu terlukaKuingin kau tahu bundaBetapa kumencintaimu lebih dari segalanya

Kumohon restu dalam langkahkuBahagiaku seiring doamu
BundaEngkaulah muara kasih dan sayangApapun pasti kau lakukanDemi anakmu yang tersayang

Pada syair lagu di atas memiliki tema tentang ibu. syair tersebut sangat indah dengan pengunaan bahasa yang sederhana dan mudah di resapi oleh berbagai kalangan. dengan penggunaan bahasa yang mudah dimenegerti membuat pesan dari lagu di atas dapat tersampaiakn dengan baik. syair tersebut sangat indah yang mana berisikan tentang ungkapan maaf seorang anak terhadap ibunya atas perjungannya selama ini. pada syair di atas terlihat jelas bagaimana penggambaran  rasa sesal atas kesalahan seorang anak terhadap ibunya membuat syair tersebut sangat mengena di hati jika di nyanyikan.

kritik dan Esai Puisi Ibu karya Chairil Anwar


Puisi Chairil Anwar - Ibu


Pernah aku ditegur
Katanya untuk kebaikan
Pernah aku dimarah
Katanya membaiki kelemahan
Pernah aku diminta membantu
Katanya supaya aku pandai

Ibu…..

Pernah aku merajuk
Katanya aku manja
Pernah aku melawan
Katanya aku degil
Pernah aku menangis
Katanya aku lemah

Ibu…..

Setiap kali aku tersilap
Dia hukum aku dengan nasihat
Setiap kali aku kecewa
Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat
Setiap kali aku dalam kesakitan
Dia ubati dengan penawar dan semangat
Dan Bila aku mencapai kejayaan
Dia kata bersyukurlah pada Tuhan

Namun…..
Tidak pernah aku lihat air mata dukamu
Mengalir di pipimu
Begitu kuatnya dirimu….

Ibu….

Aku sayang padamu…..
Tuhanku….
Aku bermohon padaMu
Sejahterakanlah dia
Selamanya…..





pada puisi di atas bertemakan mengenai seorang ibu yang mana dalam puisi di atas memiliki banyak makna tentang tugas seorang ibu. pada puisi di atas digambarkan dengan jelas bagaimana kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya dia melakukan segala kebaikan untuk anaknya meskipun terkadang hal itu dianggap buruk oleh anaknya. pada puisi di atas terlihat dengan kata sederhana seorang chairil mampu menciptakan sebuah puisi yang meneyntuh hati.  terlihat ungkapan sayang dengan tulus ditujukan untuk seorang ibu. dari puisi tersebut kita dapat belajar bagaimana perjuangan seorang ibu untuk anknya dan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.

Kritik Cerpen Perampok karya M. Shoim Anwar


PERAMPOK
Perampok yang tertangkap dini hari tadi malam adalah anakmu. Tapi kau tetap saja bersikukuh bahwa semua keluargamu adalah keluarga baik-baik. Masih saja kau bersilat dengan lidahmu yang bercabang-cabang seperti cemara. Padahal kau tahu, aku adalah saksi dari perjalanan hidupmu; seperti sungai yang terjal, menyangkut konvoi bangkai dan kototran dari hulu hingga muara. Bau busuk, amis, dan anyir tak lepas dari penciumanku sekarang kau mau berkelit apa lagi?
Perampok yang dihajar masa dini hari itu adalah anakmu. Aku tak perlu lagi pengakuan atau penolakanmu. Terlalu sederhana bila kata-katamu kau berondongkan seperti itu. Habiskanlah ludahmu, peraslah energimu, dan bila perlu keluarkan semua timbunan yang bersarang di otakmu. Aku tak akan h=goyah. Kesaksianku terlalu tegar untuk kau kelabui secara murahan.
Lihatlah tengkukmu sendiri. Kau tentu tak sanggup.itulah kehidupan. Betapa sulit menggerayangi kebobrokan diri sendiri. Kau masih saja berjalan dengan tegar, mengumbar senyum sepanjang jalan, bahkan masih tega mempertontonkan keculasan yang kronis.
“Semua adalah fitnah,” katamu. “Mereka sengaja ingin mendiskreditkan kami sekeluarga.”
“Kata-kata itu sudah klise,” aku menimpali.
“Kami bukanlah penyair. Kami tak sangguo merakit kata-kata indah. Ini kenyataan. Kami adalah korban fitnah. Dan itu lebih kejam dari pembunuhan. Jadi, kami punya hak untuk membela diri.”
“Apalah arti pembelaan jika saya sudah tahu semuanya.”
“apa yang kamu lihat bukanlah kenyataan.”
“Maksudnya?”
“Apiori.”
“Puih! Kata-kata apa lagi itu?”
“Menerima kebenaran memang tak mudah. Itu kata-katamu juga kan?”
“Jangan membalik-balik kenyataan!”
“Kata-kata itu berlaku untuk kamu juga.”
Prek!”
Siapa lagi yang tak tahu bahwa perampok sial dini hari tadi adalah anakmu. Bersama gerombolannya dia menggasak dolog. Gudang penyimpanan makanan rakyat itu diodol-odol, digembosi, serta  dikuras dengan berani. Mereka tak mau tahu bahwa dolog itu adalah pengisi perut rakyat. Mereka telah menggerogoti gelombang demi gelombang. Seperti milik bapaknya saja!
Kepuasan ternyata tak kunjung datang. Entah berapa banyak isi dolog itu dikuras. Penduduk yang tadinya tak berani melawan karena takut, lama-lama meledak juga nyali mereka. Dini hari itu kentongan di gardu desa ditabuh. Kentong titir menyentak keheningan malam. Penduduk terbangun. Teriakan menggema di mana-mana. Gerombolan itu dikejar beramai-ramai oleh warga desa. Meraka kabur tunggang langgang. Erombolan itu berpencar meloloskan diri. Akhirnya, tertangkaplah seorang. Dia adalah anakmu!
Kau masih mau mengelak lagi! Lelaki itu benar-benar anakmu. Perawakannya sedang. Rambutnya pendek. Keningnya agak lebar. Berkumis. Bibir atasnya agak runcing. Sipit matanya. Seperti kamu. Dan aku telah mengenal namanya.
“Bunuh dia!” teriak salah satu warga desa. Mereka menghajar lelaki itu secara membabi buta.
“Gantung!”
“Hancurkan!”
“Jangan! Kita harus menangkap dia secara hidup-hidup, biar bisa mengorek informasi lebih lanjut!”
Lelaki yang sudah babak belur itu diseret ke depan balai desa. Di bawah lampu yang terang, aku mengamatinya dengan teliti. Percikan-percikan darah terlihat masih basah. Pakaiannya robek dari leher sampai pangkal punggung. Dia merintih-rintih minta ampun. Menggelepar-gelepar di tanah kering seperti cacing kepanasan.
“Kau sudah kaya raya masih juga merampok!” aku menghardiknya.
“Ampun…ampun…”
“Mulut bisa minta ampun! Tapi nafsu hatimu sekeras batu. Jika kau dibebaskan, pasti kau akan merampok lagi!”
Dini hari itu warga desa membangunkan Pak Lurah. Sang perampok dibawa ke hadapannya. Pak Lurah terkejut. Ada ekspresi heran. Pak Lurah tidak menampakkan wajah seram seperti biasanya.
“Kamu?” suara Pak Lurah lirih.
Perampok itu menatap wajah Pak Lurah dengan sorot mata ebrbinar. Sepertinya dia memendam harapan. Beberapa saat, tak ada kata-kata. Pak Lurah lantas mendesah panjang.
“Sekarang kalian pulang ke rumah masing-masing. Biarlah perampok ini di sini.” Kata Pak Lurah pada warga desa.
“Nanti dia kabur, Pak,” seorang warga menyahut.
“Percayalah.”
“Kami akan tetap di sini, Pak Lurah. Kami tak ingin perampok ini lepas.”
“Kan ada petugas hansip?”
Pak Lurah terlihat berbicara dengan sang perampok, tapi tak terlalu jelas bagi kami. Beberapa saat setelah itu, datanglah mobil patroli. Setelah terlibat pembicaraan dengan Pak Lurah, para polisi itu segera membawa perampok keluar dari desa kami. Entah ke mana.
“Kita serahkan urusannya pada pihak yang berwajib. Sekarang pulanglah kalian semua.”
Ya, perampok yang dibawa oleh polisi itu adalah anakmu. Aku melihat pada lengan kanannya ada bekas bacokan memanjang. Yang namanya bangkai pasti akan berbau jua. Lewatlah di jalan-jalan, pasti semua orang akan nyinyir memandangmu.
Tiba-tiba aku tersentak. Tengan malam yang pekat, kaca rumahku dihantam dari luar. Tiga kali, kaca pintu dan jendela pecah berantakan. Aku cepat-cepat keluar. Begitu pintu terkuak, sebuah pukulan sekonyong-konyong menancap di pipiku, lantas disusul lagi dengan pukulan-pukulan berikutnya secara beruntun. Beberapa orang serentak mengeroyok aku. Aku menjadi oleng. Seperti ada pula benda keras yang dihantam ke tubuhku. Dan ketika beberapa tendangan mendarat di perut, aku pun roboh. Dalam waktu yang bersamaan aku mendengar ada bunyi sepeda motor meraung-raung. Mereka kemudian kabur dengan cepat.
Ini pasti ulah busuk anakmu. Sebab du ahari setelah itu orang-orang kampung banyak yang melihat bahwa anakmu pulang ke rumah pada malam hari. Dia telah dibebaskan. Beberapa saja yang kaubayarkan sehingga pengadilan pun tercampak ke keranjang sampah.
Beberapa hari setelah itu, aku dipanggil ke kantor polisi. Aku diinterogasi dan dituduhi telah mencemarkan nama baik seseorang. Polisi telah mencecarku dengan segebok pertanyaan. Ternyata yang melaporkan akau adalah kamu! Bangsat!
Kalau toh aku dipenjara karena persekongkolanmu dengan pihak-pihak terkait, biarlah. Toh semua orang sudah tahu. Perampok yang tertangkap dini hari itu adalah anakmu!

Surabaya, 27 Juli 1999


pada cerpen di atas menceritakan mengenai kisah seorang perampok yang mana ada seorang perampok yang tertangkap warga namun keluarganya tak terima bahwa anaknya adalah seorang perampok dan membela mati-matian. Dari cerpen di atas terlihat sekali bagaimana hukum tidak dijalankan dengan baik terhadap orang yang bersalah semua dapat di kalahkan dnegan adanya kekuasaan dari suatu pihak hal itu terlihat jelas pada cerpen di atas. pada cerpen ini juga banyak digunakan penggunaan bahasa personifikasi yang mana dapat menambah keindahan dalam pengemasan cerpen tersebut.
kekurangan dari cerpen di atas adalah latar tempat yang tidak dijelaskan dnegan detail selain penggambaran tokoh aku juga tidak dijelaskan dnegna jelas.