Senin, 23 April 2018

Pamitan




Hari ini sedikit berbeda. Sengaja aku tak ingin membahas mengenai hari ini denganmu. aku terlihat nampak biasa saja menyambut datangnya hari ini. Sebab, aku ingin tahu apakah kamu masih ingat atau tidak dengan tanggal 18 Maret 2018. Seperti biasa kita chattingan membahas kesibukan kita masing-masing. Pukul tujuh malam kamu berjanji menjemputku di rumah.
Tak lama kemudian kau datang ke rumah. Kamu bertegur sapa, lalu berpamitan kepada orang tuaku untuk mengajakku pergi sebentar menikmati malam di tengah kota. Di sepanjang perjalanan, aku duduk dibelakang, aku nampak biasa saja, tak sedikit pun membahas tentang hari spesial ini, begitu pun kamu terlihat sangat dingin denganku. Kulihat dari kaca spion kau tampak tak seperti biasa, kau banyak diam dan fokus mengendarai motormu.
 Tak lama kemudian, kau berhenti di sebuah cafe yang terlihat sangat menarik dan bernuansa syahdu dengan hiasan banyak lampu dan dinding yang terkesan sangat romantis. Kuletakkan helmku di spion motormu.
Mungkinkah kamu ingin memberiku kejutan yang spesial di malam aniversary kita ini. Kira-kira apa yang akan kamu berikan untuk aniversary pertama kita ini.
Kamu menggandengku, lalu kita masuk ke dalam cafe itu, kita duduk berdua dan memesan minuman dan makanan  kesukaan kita masing-masing. Kita bercengkrama banyak hal. Namun, tetap saja kau tak sedikit pun membahas tentang hari ini. Aku sedikit kecewa, sebab yang kupikirkan salah dan aku mulai membuka omongan mengenai hari ini dan aku ingin tahu apakah kamu benar lupa atau pura-pura lupa tentang hari ini. Namun sebelum aku menanyakan hal itu kepadamu, kamu memberiku pertanyaan yang tak biasa.
"Jika suatu saat aku pergi jauh, apa yang akan kamu lakukan?" ucapnya serius.
Aku terdiam, Kutatap raut wajahnya. Aku ingin menangis, namun aku tak kuasa.
"Ah, bicara apa sih kamu?" jawabku sambil memalingkan muka.
Kamu pun tersenyum dan bilang kalau itu hanya guyonanmu saja karena ingin melihat seberapa khawatirkah aku jika suatu saat kamu tinggalkan. Seketika semua harapan tentang perayaan hari spesial ini pun pupus karena satu  pertanyaan konyol.
Kau masih saja tak membahas tentang hari ini. Kau diam, mukamu pucat dan sifatmu dingin tak seperti biasa. Ada yang aneh, namun aku masih saja amenganggap mungkin kau hanya kelelahan.
Tiba-tiba ada panggilan masuk di handphonemu. Setelah mengangkatnya, kau terburu-buru untuk mengajakku pulang. Kau bilang ada yang perlu diselesaikan malam ini. Aku tak banyak bertanya mengenai urusanmu ini. Namun di tengah perjalanan, kau berhenti di sebuah tempat. Di taman pinggir danau dengan hiasan aksen lampu yang syahdu.
Tempat itu adalah tempat pertama kali kau menyatakan perasaanmu padaku dan ternyata di tempat itu kau sudah mempersiapkan kejutan aniversarry untukku. Di sana, sudah tersedia dua bangku dan di atas mejanya sudah tersedia bunga mawar dan sebuah kue yang berhias lilin di atasnya. Tak hanya itu, di depan bangku tersebut, kau sudah siapkan band yang mendendangkan lagu-lagu romantis. Seketika, mengenai pertanyaannya tadi, aku tak ingin memikirkannya lagi.
"Terimakasih, Sayang," ucapku secara spontan sambil memelukmu
Kau hanya membalas dengan senyuman manismu.
"Masih ingatkah kamu dengan tempat ini?" pertanyaannya padaku.
"Tentu aku masih mengingatnya, ini tempat pertama kali kamu menyatakan perasaanmu padaku," jawabku sambil tersenyum.
"Aku sudah persiapkan kejutan ini untukmu, aku ingin membahagiakanmu, aku ingin melihat senyum dari bibir mungilmu," ujarnya sambil menatapku tajam.
Aku hanya tersenyum sambil menatapnya. Aku lihat cinta di matanya tanpa kusadari air mata ini menetes dan tak menyangka bahwa yang kupirkan salah. Dia mengingatnya. Aku merasa berdosa sudah berpikiran buruk padanya.
"Aku punya kado untukmu, kuharap kamu mau menerimanya. Kado ini boleh kamu buka nanti sesampainya di rumah," ujarnya sambil menyodorkan sebuah kotak berwarna pink.
"Mengapa harus nanti?" tanyaku sambil mentapnya.
"Ah sudahlah, ikuti saja kemauanku."
Aku merasa menjadi wanita yang sangat bahagia. Hingga sulit aku mendiskripsikan perasaanku. Hampir satu jam kita menghabiskan waktu di tempat itu. Kita mengenang masa setahun silam. Kita berfoto berdua untuk mengabadikan kenangan aniversary pertama kita.
Kulihat wajahnya, ia tak sebahagia biasanya. Senyumnya tidak lepas seperti biasanya. Berkali-kali dia mengeluarkan handphone dari saku  jeansnya dan sibuk dengan itu. Ada sedikit kekesalan yang merundung hatiku.
 "Di hari yang spesial ini mengapa dia malah sibuk dengan handphonenya," ujarku dalam hati.
Namun aku tak mau berfikir aneh-aneh, mungkin ada pekerjaan yang penting yang harus dia selesaikan. Malam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat empat puluh menit, kamu mengajakku pulang. Namun kejutan malam ini masih mengganjal di benakku, aku tak mau berfikir macam-macam.
Sesampai di rumah dia langsung saja berpamitan untuk pulang. Dia terlihat terburu-buru. Aku bingung. Namun, di sisi lain aku sangat bahagia dengan kejutan yang dia persembahkan untukku. Aku merasa menjadi wanita yang istemewa malam ini. Tak lama setelah dia pulang, aku terburu-buru masuk ke kamar dan aku sudah tak sabar ingin membuka kado yang dia berikan untukku.
"Ah, sungguh malam yang indah,"  ucapku dari hati dengan sedikit lega.
Kira-kira apa yang ada di dalam kotak ini
Setelah kotak tersebut terbuka, aku hanya diam, terkejut dengan apa yang ada di dalam kotak tersebut, Aku ambil hadiah tersebut, tak kusangka dia bisa seromantis ini.
"Ah, bahagianya perasaan ini. Rasanya seperti..., Aku tak bisa mendeskripsikan apa yang sedang kurasa malam ini. Aku merasa menjadi wanita yang istimewa. Rasanya aku sudah dibuatnya terbang melayang-layang di udara,” ucapku sambil kegirangan.
Setelah aku membuka kado tersebut, aku terburu-buru mengambil handphoneku segera aku kirim pesan untuknya. Aku gemetar memegang handphoneku.   Aku bingung ingin mengetik pesan apa untuknya. Dia terlalu baik, terlalu romantis di malam aniversary kita ini hingga membuatku tak mampu berkata-kata. Dugaan yang menganggap dia melupakan tanggal ini ternyata salah. Kutatap layar handphoneku, bingung. Hatiku sangat bahagia. Aku  tak sanggup menulis pesan untuknya.
"Ah, aku bingung, rasanya aku tak sanggup berkata-kata meskipun aku pandai merangkai kata.  Lebih baik besok saja aku temui dia dan berterima kasih langsung dengannya, lalu menanyakan apa maksudnya memberi hadiah ini untukku.” ucapku sambil melihat kado yang dia berikan.
Malam sudah menunjukkan pukul dua belas lebih tiga puluh menit aku masih terjaga karena kegirangan dengan momen malam ini hingga membuatku susah tidur. Namun di lain sisi rasanya ada yang mengganjal aku merasa bahagia namun di hatiku ada sedikit rasa gelisah. Aku tidak mengerti rasa ini timbul dari mana. Sebab mengenai pertanyaan dan perilakunya yang aneh malam ini aku sudah melupakan.
"Mungkin sifatnya yang dingin tadi adalah salah satu cara yang dilakukannya untukku agar aku tidak curiga dengan kejutan yang dia berikan," pikirku dalam hati sambil melamun.
"Ah, ngapain sih aku masih memikirkan hal itu, lebih baik besok sajalah aku tanya sendiri pada Rino. Sekarang, lebih baik aku tidur," ucapku setelah tersadar dari lamunan.
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi tepat. Aku lihat handphoneku ada lima puluh lebih panggilan tak terjawab dari nomor yang tidak kukenal. Aku tak menggubrisnya.
"Mungkin hanya orang salah nomor saja," pikirku sambil melihat layar handphone.
Setelah terbangun dari tempat tidur aku pun langsung bergegas untuk bersiap-siap menemui Rino.  Rasanya aku ingin cepat-cepat menemui Rino, ada banyak hal yang ingin aku tanyakan padanya. Tak lama setelah semua beres aku pergi ke rumah Rino. Sesampai di gerbang rumahnya, aku lihat ada banyak orang yang berdiri di depan rumah Rino, ada tenda yang terpasang di depannya dan banyak kursi yang berjejeran, tertata rapi. Aku terkejut, bingung dan bertanya-tanya. Seketika aku turun dari motorku dan aku masuk ke dalam rumah Rino. Dan ternyata di sana sudah terbujur kaku mayat Rino. Aku lemas seketika. Aku tak sanggup melihat kenyataan ini. Air mata mengalir deras dari mataku.
"Apa yang terjadi?" ucapku sambil berteriak.
Ada sosok wanita yang menghampiriku dan berkata "Rino telah tiada, dia kecelakaan tadi malam."
Seketika kotak yang aku pegang jatuh dan cincin yang Rino berikan sebagai kado aniversary tadi malam jatuh menggelinding di hadapan jenazah Rino.
Aku terdiam, tak berdaya
"Sebenarnya tadi malam sebelum Rino kritis, dia menitipkan sebuah surat untukmu, surat itu sudah dia persiapkan jauh-jauh hari. Namun, tadi malam surat itu ketinggalan di saku jaketnya." kata ibunya sambil menyodorkan surat dan mengusap air mataku.
Kata apa lagi yang mampu aku tuliskan untuk menggambarkan rasa ini, sekian hari melewati waktu bersama tak ada kata maupun kalimat yang mampu aku rangkai untuk menjelaskan rasa bahagia, melewati hari bersamamu, dan bisa memilikimu. Terimakasih untuk kamu yang sekian hari mampu mengindahkan rasa ini. Sekian detik bersamamu bagiku adalah hal yang berarti. Melewati kebersamaan yang mungkin tidak bisa diganti sengan suatu hal apapun. Bagi Tuhan sudah cukup mengirim salah satu ciptaanya untukku dan itu adalah kamu. Happy anniversary, Sayang, semoga kamu suka dengan kado yang aku berikan. Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu karena itu aku memberimu cincin. Aku ingin meminangmu.
Seketika air mataku semakin mengalir deras
"Mengapa kamu harus secepat ini meninggalkanku? Bukankah kamu ingin menghabiskan masa tua bersamaku?”
Namun, ini adalah takdir Tuhan. Seberapa hebat aku melawan, Tuhanlah penentu segala takdir di dunia ini. Mau tidak mau aku harus ikhlas melepas kepergian Rino. Kebahagiaan yang baru saja kita nikmati, mengapa harus terganti dengan berita duga seperti ini. Sambil berlinang air mata kupeluk jenazah Rino. Kuucapkan selamat tinggal kepadanya dan kejutan tadi malam adalah caramu berpamitan untuk pergi dan tak akan kembali.

Sabtu, 21 April 2018

Kritik dan Esai lagu Hey Wanita-Melani Subono dan lagu Emansipasi Wanita-Maya Angela



Lagu Hey Wanita- Melanie Subono

[Menjadi seorang wanita adalah anugerah yang Tuhan berikan kepada kita,
Tidak ada mahkluk lain yang berhak menduduki kita,
Siapapun orang itu]

Pernahkan kau mendengar orang berkata?
Kau tak boleh melakukan ini itu..?
Hanya karena kau seorang wanita
Selalu di anggap makhluk yang lemah

Pernahkah kau di lecehkan sesama mu
Di anggap tak punya hak untuk bersuara
Di kucilkan dan selalu di kesampingkan
Seakan tempat kita harus di bawah

Apa yang membuat hey kamu berpikir?!
Kalau kamu itu punya hak yang lebih..

Apa yang membuat hey kamu berpikir?!
Kalau kamu itu punya hak yang lebih

Tersenyumlah..
Senyumanmu indah, setiap wanita
Tertawalah..
Jangan pernah lupa kecantikan kita
Berbanggalah..
Karena kita ini adalah seorang wanita

Menarilah..
Bebaskan dirimu hadapi harimu
Tersenyumlah..
Senyumanmu indah, setiap wanita
Tertawalah..
Hey kamu wanita
Janganlah takut untuk bermimpi

Emansipasi wanita- Maya Angela

Aku takkan diam membisu
Dalam deritaku
Aku takkan mungkin menyerah
Pada nasibku

Walau aku seorang wanita
Emansipasi menggebu dalam dada

Semenjak Kartini terlahir di hari itu
Contoh dan teladan diberi pada kaumku
Wanita bukan budak yang hina
Anggap lama semua kaum pria

Bukit pun ku daki, laut ku seberangi
Mencari bahagia
Aku disakiti, aku di ingkari
Dan aku di hina
Sponsred Links


Apa pria tega menghina wanita
Sayang, sayang, sayang
Adam tanpa Hawa tak ada artinya
Sayang, sayang, sayang

Semenjak Kartini terlahir di hari itu
Contoh dan teladan diberi pada kaumku
Wanita bukan budak yang hina
Anggap lama semua kaum pria

Bukit pun ku daki, laut ku seberangi
Mencari bahagia
Aku disakiti, aku di ingkari
Dan aku di hina

Apa pria tega menghina wanita
Sayang, sayang, sayang
Adam tanpa Hawa tak ada artinya
Sayang, sayang, sayang


            Pada lagu Hey Wanita bercerita tentang kehidupan seorang wanita yang mana banyak orang yang menggap bahwa wanita adalah makhluk yang lemah, sehingga wanita tidak bisa banyak melakukan suatu kegiatan hanya karena mereka adalah seorang wanita. Dalam syair lagu tersebut peyanyi menyampaikan aspirasi para wanita di. Hal itu dapat dilihat pada syair berikut.
Pernahkan kau mendengar orang berkata?
Kau tak boleh melakukan ini itu..?
Hanya karena kau seorang wanita
Selalu di anggap makhluk yang lemah

                Syair tersebut benar-benar menggambarkan bagaiaman kedudukan seorang wanita yang mana wanita kedudukannya selalu dibawah, mereka tak punya hak dalam mengambil keputusan dan selalu dikesampingkan dalam segala hal. Dalam syir tersebut juga menggambarkan kondisi wanita yang mana banyak korban pelecehan adalah seorang wanita. Hal tersebut dapat dilihat pada syair berikut.

Pernahkah kau di lecehkan sesama mu
Di anggap tak punya hak untuk bersuara
Di kucilkan dan selalu di kesampingkan
Seakan tempat kita harus di bawah

 Namun mungkin saat ini banyak wanita yang sudah mampu membuktikan bahwa wanita bukanlaha menjadi makhluk yang lemah dan kedudukannya selalu dibawah laki-laki, di zaman emansipasi ini sudah banyak wanita yang berani mengmbangkan bakat dan mengeluarkan potensinya hal tersebut dengan dibuktikan banyak wanita yang sudah bekerja dan banyak kedudukan pemimpin adalah seorang wanita.

            Dalam syair lagu tersebut juga terselip semangat kepada seorang wanita agar tidak selalu mau dianggap lemah dan penyanyi juga menyampaikan bahwa wanita adalah makhluk yang kuat.  Mereka punya hak untuk bersuara dan memberi pesan agar para wanita selalu tersenyum agar kecantikan seorang wanita dapat terpancar. Selain itu syair tersebut juga memberikan pesan agar kita bangga menjadi seorang wanita. Hal tersebut dapat dilihat pada syair berikut.

Tersenyumlah..
Senyumanmu indah, setiap wanita
Tertawalah..       
Jangan pernah lupa kecantikan kita
Berbanggalah..
Karena kita ini adalah seorang wanita

            Jadi dapat disimpulkan lagu tersebut sangat menggambarkan kondisi kedudukan pada zamannya, namun wanita saat ini sudah banyak yang berani untuk menghilangkan image bahwa wanita itu lemah, dan kedudukannya dibawah kaum laki-laki dibuktikan dengan kini banyak wanita yang berprestasi dan sanggunp menjadi seorang pemimpin.
            Sedangkan pada lagu Emansipasi Wanita menceritakan tentang semengat seorang wanita yang ingin bangkit dari image wanita yang di anggap lemah, pada lagu emansipasi wanita penyanyi menggambarkan bahwa wanita juga harus bangkit dan tidak mudah menyerah dengan sebuah keadaan hal itu dapat dilihat pada syair berikut.
Dalam deritaku
Aku takkan mungkin menyerah
Pada nasibku

Walau aku seorang wanita
Emansipasi menggebu dalam dada

Semenjak Kartini terlahir di hari itu
Contoh dan teladan diberi pada kaumku
Wanita bukan budak yang hina
Anggap lama semua kaum pria

            Pada syair tersebut bermakna bahwa wanita harus bisa bangkit dan tidak selamanya menjadi budak kaum pria hal itu dapat dilihat pada kondisi sosial saat ini semenjak lahirnya kartini yang memperjuangkan emansipasi wanita kini wanita kedudukannya dalam bekerja mampu sejajar dengan kaum pria.
Pada lagu emansipasi wanita juga menceritakan tentang bagaimana usaha seorang wanita yaitu pada saat itu adalah kartini dalam memperjuangkan emansipasinya dia berjuang dengan segala hal agar dapat memperjuangkan emansipasinya agar kaum laki-laki tak selalu menyakiti dan menghina kaum perempuan sebab kaum laki-laki tapa wanita juga tak ada artinya begitupun sbeliknya hal itu dapat dilihat pada syair berikut.
Bukit pun ku daki, laut ku seberangi
Mencari bahagia
Aku disakiti, aku di ingkari
Dan aku di hina


Apa pria tega menghina wanita
Sayang, sayang, sayang
Adam tanpa Hawa tak ada artinya
Sayang, sayang, sayang

            Jadi pada lagu Hey Wanita dan Emansipasi Wanita bercerita tentang kondisi seorang wanita bagaimana keadaan wanita dan semangat seorang wanita dalam memperjuangkan emansipasinya. Melihat kondisi saat belum ada kartini wanita selalu menjadi budak laki-laki, wanita kedudukannya selalu di bawah laki-laki dan kini setelah ada kartini wanita dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki.

Minggu, 15 April 2018

Kritik dan Esai Cerpen Tahi Lalat karya M.Shoim Anwar


                Cerpen Ada Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah karya M.Shoim Anwar merupakan sebuah cerpen yang menceritakan mengenai realita kehidupan sosial. Hal itu dapat dilihat pada cerpen tersebut yang menceritakan mengenai seorang Lurah yang tidak menepati janjinya saat kampanye. Selain itu sekarang banyak dijumpai calon pemimpin yang saat kampanye berlangsung mereka membuat janji yang akan mensejahterakan masyarakat namun saat seseorang terpilih janji tinggalah janji dan hal tersebut sangat sering kita jumpai pada kehidupan sosial saat ini. hal itu ditunjukkan pada kutipan cerpen berikut.
Bulan depan adalah masa pendaftaran calon lurah atau kepala desa di sini. Konon Pak Lurah akan mencalonkan kembali untuk periode berikutnya. Tak ada yang bisa mencegahnya meski janji-janjinya yang dulu ternyata palsu.
"Ada unsur politik juga kayaknya," kataku pada istri.
"Mengapa istri diikut-ikutkan?" dia mendongak.
"Citra perempuan lebih sensitif untuk dimainkan."

            Tidak hanya itu saat seseorang sudah memiliki jabatan maka mereka akan berbuat semaunya sendiri yang mereka anggap akan menguntungkan dirinya tanpa berfikir nasib rakyatnya. Mereka akan melakukan berbagai cara untuk membodohi rakyatnya agar kemauannya dapat tercapai dan mendapatkan untung sebesar mungkin hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
            Jujur kukatakan, Pak Lurah juga sering menggunakan cara-cara kotor. Selama menjabat, tidak sedikit warga yang kehilangan sawah ladang dan berganti dengan perumahan mewah. Warga yang tinggal di tempat strategis, melalui perangkat desa Pak Bayan, dirayu untuk menjual tanahnya dengan harga yang lumayan mahal. Begitu tanah-tanah yang strategis itu terlepas dari pemiliknya, Pak Lurah semakin gencar membujuk yang lain dengan cara memanggilnya ke kantor kelurahan.
"Kalau tidak mau menjual, akan dipagari oleh pengembang perumahan," begitulah kata-kata intimidasi yang sering dilontarkan Pak Bayan kepada warga.
"Lama-lama desa ini habis terjual," kataku pada Pak Bayan.
"Habis gimana?" jawab Pak Bayan enteng.
"Bilang sama Pak Lurah," aku melanjutkan, "mestinya kehidupan kami diperbaiki agar makmur. Diciptakan lapangan kerja baru. Bukan mengancam agar rakyat menjual tanahnya kayak kompeni."
"Kalau ada perumahan, pasti warga dapat kesempatan kerja."
"Jadi kuli dan babu!" aku menyergah.
Aku yakin, warga asli sini kelak akan jadi buruh pembersih rumput dan tukang sapu di wilayah perumahan. Sambil duduk di tanah, mereka menatap rumah-rumah mewah, dengan badan kurus kurang gizi dan napas kembang kempis digerogoti usia, mereka akan menuding sambil berkata, "Itu dulu tanah milik saya. Batasnya dari sana hingga ke sana. Luaaas sekali...."


Selain itu pada saat akan muncul suatu pemilihan pemimpin. Pasti akan ada desas desus atau kabar baik maupun buruk dari calon pemimpin yang sangat cepat menyebar di masyarakat. Isu tersebut digunakan untuk menjatuhkan calon pemimpin saat akan adanya pendaftaran calon pemimpin desa. Apalagi saat masyarakat tidak menyukai sifat dari calon pemimpin tersebut maka hal sekecil apapun akan menjadi masalah dan bahan gunjingan bagi masyarakat yang tidak mendukungnya.  Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan cerpen berikut.
Semakin mendekati masa pendaftaran calon lurah, berita adanya tahi lalat di dada istri Pak Lurah semakin santer. Bumbu-bumbu pembicaraan makin banyak. Pembicaraan tidak hanya tertumpu pada tahi lalat di dada istri Pak Lurah, tapi meluas hingga sekujur tubuh istri Pak Lurah ditelanjangi.
Aku yakin Pak Lurah dan istrinya sudah mencium kasak-kusuk di sekitarnya. Mungkin untuk mengamankan pencalonannya kembali sebagai lurah, dia sengaja memilih diam dengan harapan pembicaraan itu akan menghilang dengan sendirinya. Tapi, dengan sikap diamnya itu, aku curiga jangan-jangan pembicaraan itu benar adanya. Kata-kata 'diam pertanda setuju' hadir dalam pikiranku. Memang, Pak Lurah dan istrinya serbasalah. Apa pun yang dikatakannya dijamin tidak akan dapat meyakinkan tanpa bukti fisik.
Pada kutipan di atas sesuai dengan realita masyarakat saat ini yang mana melihat masyarakat saat ini yang memiliki hoby bergosip menjadikan suatu kabar yang belum tentu asal ususlnya benar atau tidaknya cepat meluas dan tersebar dari mulut ke mulut. Dan ketika seseorang sudah membicarakan isu yang hangat dibicarakan di masyarakat maka berita tersebut akan cepat menyebar tanpa pandang bulu drai anak-anak sampai orang tua akan mendengar kabar tersebut.
Kelebihan cerpen ini adalah cerpen ini mengangkat tema kehidupan sosial di masyarakat saat ini, hal tersebut dapat dilihat dari kutipan-kutipan cerpen yang menggambarkan sebagaian pemimpin yang memiliki sikap seenaknya saja saat sudah mendapatkan jabatan dan janji yang di ucapakan saat masa kampenya tidak bisa diterapkan dengan baik. selain itu Cerpen ini sangat menarik untuk dibaca dalam penguraian ceritanya bahasa yang digunakan juga mudah dipahami sehingga tidak menyulitkan pembaca dalam memahami cerpen tersebut. Kekurangan dari cerpen tersebut adalah akhir cerita yang penulis tuliskan berakhir dnegan kurang greget.

Rabu, 04 April 2018

Kritik dan Esai Cerpen Sorot Mata Syaila Karya M. Shoim Anwar



Sorot Mata Syaila

Di Bandara Internasional Abu Dhabi, pukul satu dini hari, detak jantungku makin kencang. Pipi perempuan itu perlahan-lahan menyentuh pundakku. Terasa makin dekat dan hangat. Mulanya dia masih berusaha menegakkan kepalanya kembali beberapa kali, tapi makin lama kesadarannya makin menipis. Pipi itu akhirnya benar-benar menempel dengan pasti. Sebuah penyerahan yang lembut. Ujung hijabnya menyentuh hidungku. Terasa ada aroma parfum Alfa Zahrah. Gaun panjang terusan warna hitam yang dikenakan, abaya, ikut meluruh ke tubuh kiriku.
Aku tak berani bergerak. Ada baiknya berdiam agar dia tak terbangun dengan tiba-tiba. Ini pasti di luar kesadarannya. Malam telah melarut dan payah pun membalut. Hembus napasnya terdengar makin teratur. Tangan perempuan itu menyilang di pangkuannya. Lengan bajunya mengingsut naik. Bulu-bulu panjang tampak tumbuh merebah di lengan. Kulitnya bersih dan cerah membuat bulu-bulu itu tampak dari pangkal tumbuhnya hingga ujung. Sementara kuku-kukunya dipotong agak meruncing, warnanya merah muda seperti buah kurma menua di pohonnya.
Di negeri Uni Emirat Arab ini aku mesti berganti pesawat. Enam jam para penumpang harus menanti. Penerbangan masih harus kutempuh sekitar sembilan jam lagi dengan maskapai Etihad Airways nomor penerbangan EY 474. Jarak masih membentang sekitar 5.594 km lagi. Para penumpang, baik yang transit maupun baru, memenuhi lantai dua. Mereka menanti jadwal masing-masing. Kursi-kursi telah penuh. Sebagian penumpang, sepertinya para pembantu rumah tangga, duduk di lantai. Perempuan yang bersandar di pundakku makin nyaman dalam tidurnya. Beberapa orang sepertinya tersenyum ketika melihat pemandangan itu.
Aku duduk di deretan kursi menghadap ke Sky Bar dan gate7-8. Lorong menuju ke toilet ada di depan sana. Perempuan itu mulanya mondar-mandir mencari tempat duduk sambil menyeret koper kecil warna cokelat. Sudah beberapa kali dia lewat sambil melihat tempat duduk di dekatku. Kebetulan kursi di sebelah kiriku agak longgar. Aku merasa harus berbagi. Akhirnya aku mengingsut dan mempersilakannya duduk.
Awalnya aku merasa ragu. Maklum di belahan dunia Arab antara laki-laki dan perempuan umumnya dipisahkan dengan ketat. Tapi ini di Abu Dhabi, bukan Kota Suci Makkah atau Madinah yang memerlukan waktu sekitar dua jam dengan pesawat ke sana. Meski awalnya aku tak yakin, perempuan itu akhirnya duduk di sebelahku. Aku membantu menata koper di depannya.
“Syukran,” dia mengucapkan terima kasih.
Beberapa saat aku mencoba menyesuaikan. Laki-laki tua berjenggot panjang di sebelah kirinya juga mengingsutkan duduknya. Sementara lelaki berkulit gelap di sebelah kananku tetap menyandarkan kepalanya di kursi, mendongak dengan mata tertutup dan mulutnya membuka seperti buaya memasang perangkap agar ada mangsa yang masuk. Orang-orang yang duduk ber deret di kursi depan sudah tidak lagi memperhatikan. Kaki mereka kembali berselonjor. Beberapa saat situasi pun tenang kembali.
“Ismii Matalir,” aku memperkenalkan na ma ku. Bukan nama resmi, tapi nama panggilan waktu kecil.
Perempuan itu memandangku. Mungkin dia merasa aneh mendengarnya.
“Maasmuka? Mat…alir?”
Aku mengangguk.
“Ana min Indonesia,” aku melanjutkan. Dia tersenyum dan manggut-manggut. Beberapa saat aku masih memandang ke arahnya. Perempuan muda itu berhidung mancung dan beralis tebal. Kulit mukanya cerah dengan bibir mengilat semu merah. Bulu-bulu lembut di atas bibirnya menguat meski tampak samar.
“Ilaa ayn tadzhab?” aku bertanya ke mana dia pergi.
“Pakistan.”
Kami saling tersenyum. Koper di depannya aku rapikan lagi agar tidak menghalangi orang lewat. Kami berbasa-basi beberapa saat. Dia lalu melihat-lihat telepon selulernya, kemudian menoleh ke arahku kembali.
“Wa anti maasmuki?” aku tanya namanya, meski sadar itu terlalu bernafsu. Dia tak segera menjawab. Aku tetap memandangnya.
“Syaila,” jawabnya kemudian. Nama itu terdengar indah di telingaku. Artinya adalah kobaran api.
Perempuan dari segala penjuru dunia memang boleh datang ke Abu Dhabi. Mereka tidak sedikit yang memakai celana pendek dan kaus oblong. Agak kontras dengan mereka yang memakai cadar. Perempuan muda berhijab dengan wajah terbuka juga lazim dijumpai. Para pramugari milik negeri ini malah memakai span ketat di atas lutut dan baret dengan rambut terbuka. Meski tidak bercadar, pakaian Syaila bagiku sudah nyaris sempurna menutup tubuhnya.
Syaila menanyakan nama maskapai dan kota tujuanku. Dia tahu kalau pesawatku akan take off lebih dulu dibanding dia. Lama-lama pembicaraan kami mulai jarang. Bukan bahan omongan yang mulai habis, tapi bahasa Arabku yang kedodoran sehingga tak bisa mengungkapkan apa yang akan kukatakan. Rasa kantuk mulai menyerang. Detik-detik inilah aku mengetahui Syaila juga mulai di se rang kantuk.
Sekarang aku berpikir persoalanku sendiri. Aku berharap penerbanganku terlambat, bila perlu ditunda dalam waktu yang panjang. Alasan melaksanakan ibadah ke Tanah Suci dan ziarah ke makam nabi-nabi sudah kulalui. Semua itu aku lakukan untuk memperlambat proses hukum sambil mencari terobosan lain, termasuk sengaja tidak hadir saat dipanggil untuk diperiksa penyidik.
Perkara ini tidak melibatkan aku seorang diri. Seluruh keluarga, istri dan anak-anak, juga diperiksa karena diduga teraliri dana dalam bentuk kepemilikan saham perusahaan. Si alan, seorang teman anggota parlemen yang menjadi terdakwa “menyanyi” saat di persidangan, termasuk mengungkap liku-liku pemenangan tender yang telah kami skenariokan untuk perusahaan keluarga. Pengakuan itu bahkan telah masuk dalam berita acara peme riksaan alias BAP. Jumlah kerugian uang negara juga telah disebut.
Ketika beberapa kali disidik oleh pihak kepolisian, aku dapat bocoran bahwa statusku yang semula saksi sudah ditingkatkan menjadi tersangka. Ada yang mengatur agar statusku tidak bocor ke publik. Pada saat itulah aku dengan cepat melarikan diri keluar negeri. Tentu saja dengan beberapa skenario yang sudah kupersiapkan sejak kasusku mulai diungkap. Semua keluarga sudah diskenario agar satu suara, bila perlu bungkam.
Nanti, ketika berkas perkaraku dilimpahkan ke kejaksaan untuk dibuat tuntutan, aku dapat informasi bahwa statusku sebagai tersangka mau tak mau akan terbuka di kejaksaan. Pun sudah ada yang memberi tahu bahwa kejaksaan akan meminta pihak imigrasi untuk mencekal aku pergi ke luar negeri. Dan benar, ketika berita ramai tersiar bahwa aku dicekal, posisiku sudah di luar negeri. Inilah enaknya punya jaringan khusus di lembaga peradilan. Aku merasa sedikit beruntung kasusku ditangani mereka. Andai yang menangani KPK, mungkin aku sudah meringkuk di sel.
Bagiku, pergi melakukan ibadah ke Tanah Suci jauh lebih baik daripada pura-pura sakit ketika diproses secara hukum. Aku toh berdoa sungguh-sungguh. Berita-berita dari tanah air menyatakan bahwa aku buron sehingga beberapa lembaga antikorupsi ikut menempel posterku di tempat-tempat umum. Tapi biarlah orang lain mau bilang apa. Setiap orang punya cara sendiri-sendiri. Termasuk minta diselimuti dan diinfus di rumah sakit kayak orang mau mati. Pura-pura kecelakaan nabrak tiang listrik juga biarlah. Pura-pura mencret akut saat sidang juga ada.
Pengacara yang kusewa dengan harga mahal pasti sudah memberi penjelasan panjang lebar sesuai permintaanku, termasuk mengajukan praperadilan. Ibarat pesta biskuit, dia telah kutaburi remah-remahnya yang tersisa di kaleng. Sambil menikmati rontokan biskuit dia bicara tak henti-henti membelaku, seperti anjing yang sangat setia melindungi tuannya.
Kembali aku melihat-lihat ke sekitar. Arsitektur bandara ini membuatku serasa bernaung di bawah pohon kurma raksasa. Pilar tunggal yang besar berada di tengah dari lantai satu hingga lantai dua. Ujung pilar itu mekar menyerupai daun-daun kurma dan sekaligus membentuk langit-langit secara melingkar dengan motif ornamen segi enam. Stan-stan penjual makanan ringan, minuman, dan sovenir juga ditata melingkar. Di bawah pilar dipajang dagangan sebangsa parfum, alat kecantikan, jam tangan, serta perhiasan dengan harga mahal.
Malam telah bergeser ke dini hari. Orang-orang seperti membeku di kursinya. Kepala Syaila bergerak-gerak. Sepertinya perempuan itu mulai terbangun. Terdengar desah napasnya disertai lenguh yang lembut. Perlahan dia mengangkat kepala dari pundakku. Dia berkedip-kedip melihatku agak lama. Seperti meyakinkan sesuatu yang telah lama hilang. Ekspresinya datar. Aku pun menatapnya. Tanpa bicara apa-apa.
Tangan kanan Syaila perlahan merambat ke pegangan koper. Sambil tetap melihatku, dia bangkit. Matanya berkedip-kedip. Koper itu didorongnya ke depan, lalu melangkah. Beberapa detik setelah itu dia berhenti. Pandangannya masih diarahkan kepadaku. Syaila mengangguk. Mungkin sebagai isyarat pamit. Aku pun mengangguk. Posisi kopernya berganti di belakang. Perempuan itu melangkah lagi. Ada rasa kehilangan melepas kepergiannya.
Baru beberapa langkah berjalan, Syaila kembali membalikkan pandangan. Dia mengangguk. Aku membalas. Tapi dia tak segera beranjak. Seperti ada isyarat lain untukku. Aku pun berdiri. Syaila melangkah lagi. Ada kegamangan dalam diriku. Kali ini aku mulai menangkap maksudnya saat perempuan itu kembali menoleh dan mengangguk dua kali. Aku berjalan ke arahnya. Syaila melanjutkan langkah ketika mengetahui aku mengikuti. Terasa ada dorongan yang makin kuat. Aku meniti di belakang langkahnya.
Syaila menuruni tangga ke lantai satu. Aku membuntut. Dia berbelok ke kiri, menuju ke lorong yang makin sepi karena stan-stan di kanan kiri semuanya tutup. Suasana bertambah senyap. Sesekali perempuan itu menoleh ke arahku dan mengangguk. Sebuah isyarat agar aku terus mengikuti. Lampu-lampu makin meredup. Bunyi sepatu perempuan itu makin jelas. Detaknya memantul ke dinding-dinding lorong yang makin panjang. Abaya hitam yang dikenakan membuatnya makin samar dalam keremangan.
Sampai di pertigaan Syaila berhenti sejenak. Dia menoleh ke kiri dan kanan. Ketika jarak antara kami tinggal dua tiga langkah, perempuan itu berbelok ke kanan dan mempercepat langkahnya. Aku seperti tersedot mengikuti arusnya. Ternyata ini bukan lantai terakhir. Di ujung lorong ada tangga ke bawah. Dengan langkah makin cepat Syaila meluncur turun. Udara terasa makin pengap dan bau apak mengambang. Lantai tak lagi rata. Di sana-sini ada bekas genangan air. Kesenyapan hampir sempurna membalut. Detak sepatu itu terdengar makin cepat.
“Syaila…,” aku memanggil. Dia menoleh sejenak dan mengangguk. Langkahku makin cepat karena harus mengikutinya. Suasana makin meredup, tinggal satu dua lampu yang tersisa di kejauhan sana. Ada kelepak melintas di depanku. Tubuh Syaila makin samar dibalut remang. Seperti ada kekuatan yang menyedot langkahku untuk terus mengalir. Pantulan detak sepatu Syaila makin menggema dari sudut ke sudut. Lorong ini terasa makin sempit dan berkelok-kelok menyerupai labirin.
“Syaila…,” aku menyeru. Tubuh perempuan itu makin menghablur. Yang kudengar kembali adalah gema suaraku yang memantul-mantul makin keras. Lorong semakin berliku-liku. Syaila tampak seperti bayangan melayang-layang dalam remang. Tiba-tiba ada kabut dingin yang datang. Kembali kuseru nama Syaila. Dalam keremangan samar-samar tampak dia menoleh dan berhenti. Aku melihat bola mata perempuan itu merona dalam kegelapan, berpendar mengeluarkan cahaya kebiruan. Seperti sepasang mata kucing hitam saat di sorot cahaya di kegelapan.
Kembali aku menyeru. Tapi suaraku seperti tercekat di tenggorokan. Sorot sepasang mata Syaila makin kuat menembus kabut. Seperti juga seekor kucing hitam, sosok itu melayang dan menyambarku. Aku terjatuh. Tengkurap di lantai lorong yang basah. Ada bunyi kelepak yang datang menyerbu. Makin riuh di telingaku. Aku membeku.
Beberapa saat kemudian lamat-lamat ganti terdengar suara merintih-rintih memanggilku. Aku berusaha merayap mendekat. Kata-kata “papa” yang disuarakan makin jelas. Sepertinya ada beberapa suara yang memanggilku. Semuanya merintih dengan nada kesakitan.
Lorong ini bukan saja basah, tapi semakin becek dan pesing. Ada tetesan air dari pipa di langit-langit. Aku merayap terengah-engah. Tampak seberkas cahaya di sana. Sampai di tikungan lorong aku mendongak. Cahaya menyorot ke sana. Ah, aku terkejut! Aku melihat istri pertama beserta kedua anakku digantung. Leher mereka dijerat, kaki dan tangannya diserimpung seperti kepompong. Di sebelah mereka aku juga melihat hal yang sama. Istri keduaku beserta dua anaknya juga mengalami hal serupa. Dua orang istri dan empat orang anakku bergelantungan tak berdaya. Seperti menunggu ajal yang segera tiba, mereka merintih-rintih kesakitan.
Aku berusaha meyakinkan diri. Ini bukan mimpi atau sekadar ilusi. Di lorong terdalam Bandara Internasional Abu Dhabi, aku tak berdaya menolong istri-istri dan anak-anakku yang sekarat menghadapi maut. Mereka digantung seperti kambing habis disembelih untuk dikuliti. Barangkali ini adalah ujung dari hidup kami semua. Aku ingin meronta, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Kaki dan tanganku pun terserimpung di lantai lorong yang becek dan pesing.
Lalu di manakah Syaila? Perempuan itu telah melenyap bersama gelap. Sosoknya menghilang tanpa bayang. Sebagai kucing hitam, dia membenam dalam kelam. Aku tersuruk di sini. Menatap kedua istri dan empat anakku yang hampir beku. Seluruh tubuhku juga kaku dan beku. Kelepak itu pun datang kembali bertubi-tubi, terbang mengitari tubuhku untuk dimangsa inci demi inci. ***

Abu Dhabi-Surabaya, 1 Januari 2018
Pada cepen di atas pengarang sangat jelas dan detail dalam menggambarkan tokoh, alur dan unsur instrinsik lainnya dalam cerita. Sehingga, saat dibaca cerpen mudah di pahami ceritanya. tema cerpen juga sangat menarik yaitu sesuai dengan kondisi sosial yang baru-baru ini hangat dibicarakan publik. hal itu dapat dilihat pada kutipan cerpen berikut ini "Alasan melaksanakan ibadah ke Tanah Suci dan ziarah ke makam nabi-nabi sudah kulalui. Semua itu aku lakukan untuk memperlambat proses hukum sambil mencari terobosan lain, termasuk sengaja tidak hadir saat dipanggil untuk diperiksa penyidik.
Perkara ini tidak melibatkan aku seorang diri. Seluruh keluarga, istri dan anak-anak, juga diperiksa karena diduga teraliri dana dalam bentuk kepemilikan saham perusahaan. Si alan, seorang teman anggota parlemen yang menjadi terdakwa “menyanyi” saat di persidangan, termasuk mengungkap liku-liku pemenangan tender yang telah kami skenariokan untuk perusahaan keluarga. Pengakuan itu bahkan telah masuk dalam berita acara peme riksaan alias BAP. Jumlah kerugian uang negara juga telah disebut.
Ketika beberapa kali disidik oleh pihak kepolisian, aku dapat bocoran bahwa statusku yang semula saksi sudah ditingkatkan menjadi tersangka. Ada yang mengatur agar statusku tidak bocor ke publik. Pada saat itulah aku dengan cepat melarikan diri keluar negeri. Tentu saja dengan beberapa skenario yang sudah kupersiapkan sejak kasusku mulai diungkap. Semua keluarga sudah diskenario agar satu suara, bila perlu bungkam.
Nanti, ketika berkas perkaraku dilimpahkan ke kejaksaan untuk dibuat tuntutan, aku dapat informasi bahwa statusku sebagai tersangka mau tak mau akan terbuka di kejaksaan. Pun sudah ada yang memberi tahu bahwa kejaksaan akan meminta pihak imigrasi untuk mencekal aku pergi ke luar negeri. Dan benar, ketika berita ramai tersiar bahwa aku dicekal, posisiku sudah di luar negeri. Inilah enaknya punya jaringan khusus di lembaga peradilan. Aku merasa sedikit beruntung kasusku ditangani mereka. Andai yang menangani KPK, mungkin aku sudah meringkuk di sel.
Bagiku, pergi melakukan ibadah ke Tanah Suci jauh lebih baik daripada pura-pura sakit ketika diproses secara hukum. Aku toh berdoa sungguh-sungguh. Berita-berita dari tanah air menyatakan bahwa aku buron sehingga beberapa lembaga antikorupsi ikut menempel posterku di tempat-tempat umum. Tapi biarlah orang lain mau bilang apa. Setiap orang punya cara sendiri-sendiri. Termasuk minta diselimuti dan diinfus di rumah sakit kayak orang mau mati. Pura-pura kecelakaan nabrak tiang listrik juga biarlah. Pura-pura mencret akut saat sidang juga ada".
 Saat membaca cerpen tersebut seolah mata terbuka mengenai kondisi peradilan di negara ini. banyak orang yang memiliki kekuasaan yang melakukan kesalahan namun saat kasusnya di selediki dan terbukti bersalah dengan sadar dan tanpa rasa bersalah malah mencari cara untuk lari dari permasalahan yang dihadapi. Sehingga ketika membaca cerpen tersebut pembaca di suguhkan menganai kondisi hukum negara saat ini. selain itu pembaca juga mendapatkan sebuah amanat yang dapat dipetik dari cerpen tersebut.  Saat membaca cerpen tersebut seolah pembaca dibawa kedalam alur cerita yang penuh dengan teka teki. Selain itu sosok tokoh syaila yang menjadi tanda tanya juga membuat rasa penasaran pembaca. Cerpen tersebut dikemas dengan sangat rapi,  dan pilihan bahasa yang digunakan tidak menyulitkan pembaca saat memahami adegan demi adegan dalam cerpen tersebut.
Kekurangan dari cerpen tersebut adalah sosok syaila yang menjadi teka teki mungkin akan menimbulkan berbagai macam asumsi yang berbeda dari pembaca. Selain itu pada akhir cerita saat tokoh aku bertemu dengan istri-istri dan keempat anaknya juga menimbulkan teka teki. Apakah itu hanya halusinasi ataukah memang tokoh aku melihat dengan benar istri-istrinya dan keempat anaknya dalam kondisi sekarat menghadapi maut.