Senin, 25 Juni 2018

Kritik dan Esai Syair Lagu Muara Kasih Bunda

BundaEngkaulah muara kasih dan sayangApapun pasti kau lakukanDemi anakmu yang tersayang
BundaTak pernah kau berharap budi balasanAtas apa yang kau lakukanUntuk diriku yang kau sayang
Saat diriku dekat dalam sentuhanPeluk kasihmu dan sayangSaat ku jauh dari jangkauanDoa mu kau sertakan
Reff:Maafkan diriku bundaKadang tak sengaja ku membuat remah hatimu terlukaKuingin kau tahu bundaBetapa kumencintaimu lebih dari segalanya
Kumohon restu dalam langkahkuBahagiaku seiring doamu
BundaTak pernah kau berharap budi balasanAtas apa yang kau lakukanUntuk diriku yang kau sayang
Saat diriku dekat dalam sentuhanPeluk kasihmu dan sayangSaat ku jauh dari jangkauanDoa mu kau sertakan
Reff:Maafkan diriku bundaKadang tak sengaja ku membuat remah hatimu terlukaKuingin kau tahu bundaBetapa kumencintaimu lebih dari segalanya

Kumohon restu dalam langkahkuBahagiaku seiring doamu
BundaEngkaulah muara kasih dan sayangApapun pasti kau lakukanDemi anakmu yang tersayang

Pada syair lagu di atas memiliki tema tentang ibu. syair tersebut sangat indah dengan pengunaan bahasa yang sederhana dan mudah di resapi oleh berbagai kalangan. dengan penggunaan bahasa yang mudah dimenegerti membuat pesan dari lagu di atas dapat tersampaiakn dengan baik. syair tersebut sangat indah yang mana berisikan tentang ungkapan maaf seorang anak terhadap ibunya atas perjungannya selama ini. pada syair di atas terlihat jelas bagaimana penggambaran  rasa sesal atas kesalahan seorang anak terhadap ibunya membuat syair tersebut sangat mengena di hati jika di nyanyikan.

kritik dan Esai Puisi Ibu karya Chairil Anwar


Puisi Chairil Anwar - Ibu


Pernah aku ditegur
Katanya untuk kebaikan
Pernah aku dimarah
Katanya membaiki kelemahan
Pernah aku diminta membantu
Katanya supaya aku pandai

Ibu…..

Pernah aku merajuk
Katanya aku manja
Pernah aku melawan
Katanya aku degil
Pernah aku menangis
Katanya aku lemah

Ibu…..

Setiap kali aku tersilap
Dia hukum aku dengan nasihat
Setiap kali aku kecewa
Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat
Setiap kali aku dalam kesakitan
Dia ubati dengan penawar dan semangat
Dan Bila aku mencapai kejayaan
Dia kata bersyukurlah pada Tuhan

Namun…..
Tidak pernah aku lihat air mata dukamu
Mengalir di pipimu
Begitu kuatnya dirimu….

Ibu….

Aku sayang padamu…..
Tuhanku….
Aku bermohon padaMu
Sejahterakanlah dia
Selamanya…..





pada puisi di atas bertemakan mengenai seorang ibu yang mana dalam puisi di atas memiliki banyak makna tentang tugas seorang ibu. pada puisi di atas digambarkan dengan jelas bagaimana kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya dia melakukan segala kebaikan untuk anaknya meskipun terkadang hal itu dianggap buruk oleh anaknya. pada puisi di atas terlihat dengan kata sederhana seorang chairil mampu menciptakan sebuah puisi yang meneyntuh hati.  terlihat ungkapan sayang dengan tulus ditujukan untuk seorang ibu. dari puisi tersebut kita dapat belajar bagaimana perjuangan seorang ibu untuk anknya dan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.

Kritik Cerpen Perampok karya M. Shoim Anwar


PERAMPOK
Perampok yang tertangkap dini hari tadi malam adalah anakmu. Tapi kau tetap saja bersikukuh bahwa semua keluargamu adalah keluarga baik-baik. Masih saja kau bersilat dengan lidahmu yang bercabang-cabang seperti cemara. Padahal kau tahu, aku adalah saksi dari perjalanan hidupmu; seperti sungai yang terjal, menyangkut konvoi bangkai dan kototran dari hulu hingga muara. Bau busuk, amis, dan anyir tak lepas dari penciumanku sekarang kau mau berkelit apa lagi?
Perampok yang dihajar masa dini hari itu adalah anakmu. Aku tak perlu lagi pengakuan atau penolakanmu. Terlalu sederhana bila kata-katamu kau berondongkan seperti itu. Habiskanlah ludahmu, peraslah energimu, dan bila perlu keluarkan semua timbunan yang bersarang di otakmu. Aku tak akan h=goyah. Kesaksianku terlalu tegar untuk kau kelabui secara murahan.
Lihatlah tengkukmu sendiri. Kau tentu tak sanggup.itulah kehidupan. Betapa sulit menggerayangi kebobrokan diri sendiri. Kau masih saja berjalan dengan tegar, mengumbar senyum sepanjang jalan, bahkan masih tega mempertontonkan keculasan yang kronis.
“Semua adalah fitnah,” katamu. “Mereka sengaja ingin mendiskreditkan kami sekeluarga.”
“Kata-kata itu sudah klise,” aku menimpali.
“Kami bukanlah penyair. Kami tak sangguo merakit kata-kata indah. Ini kenyataan. Kami adalah korban fitnah. Dan itu lebih kejam dari pembunuhan. Jadi, kami punya hak untuk membela diri.”
“Apalah arti pembelaan jika saya sudah tahu semuanya.”
“apa yang kamu lihat bukanlah kenyataan.”
“Maksudnya?”
“Apiori.”
“Puih! Kata-kata apa lagi itu?”
“Menerima kebenaran memang tak mudah. Itu kata-katamu juga kan?”
“Jangan membalik-balik kenyataan!”
“Kata-kata itu berlaku untuk kamu juga.”
Prek!”
Siapa lagi yang tak tahu bahwa perampok sial dini hari tadi adalah anakmu. Bersama gerombolannya dia menggasak dolog. Gudang penyimpanan makanan rakyat itu diodol-odol, digembosi, serta  dikuras dengan berani. Mereka tak mau tahu bahwa dolog itu adalah pengisi perut rakyat. Mereka telah menggerogoti gelombang demi gelombang. Seperti milik bapaknya saja!
Kepuasan ternyata tak kunjung datang. Entah berapa banyak isi dolog itu dikuras. Penduduk yang tadinya tak berani melawan karena takut, lama-lama meledak juga nyali mereka. Dini hari itu kentongan di gardu desa ditabuh. Kentong titir menyentak keheningan malam. Penduduk terbangun. Teriakan menggema di mana-mana. Gerombolan itu dikejar beramai-ramai oleh warga desa. Meraka kabur tunggang langgang. Erombolan itu berpencar meloloskan diri. Akhirnya, tertangkaplah seorang. Dia adalah anakmu!
Kau masih mau mengelak lagi! Lelaki itu benar-benar anakmu. Perawakannya sedang. Rambutnya pendek. Keningnya agak lebar. Berkumis. Bibir atasnya agak runcing. Sipit matanya. Seperti kamu. Dan aku telah mengenal namanya.
“Bunuh dia!” teriak salah satu warga desa. Mereka menghajar lelaki itu secara membabi buta.
“Gantung!”
“Hancurkan!”
“Jangan! Kita harus menangkap dia secara hidup-hidup, biar bisa mengorek informasi lebih lanjut!”
Lelaki yang sudah babak belur itu diseret ke depan balai desa. Di bawah lampu yang terang, aku mengamatinya dengan teliti. Percikan-percikan darah terlihat masih basah. Pakaiannya robek dari leher sampai pangkal punggung. Dia merintih-rintih minta ampun. Menggelepar-gelepar di tanah kering seperti cacing kepanasan.
“Kau sudah kaya raya masih juga merampok!” aku menghardiknya.
“Ampun…ampun…”
“Mulut bisa minta ampun! Tapi nafsu hatimu sekeras batu. Jika kau dibebaskan, pasti kau akan merampok lagi!”
Dini hari itu warga desa membangunkan Pak Lurah. Sang perampok dibawa ke hadapannya. Pak Lurah terkejut. Ada ekspresi heran. Pak Lurah tidak menampakkan wajah seram seperti biasanya.
“Kamu?” suara Pak Lurah lirih.
Perampok itu menatap wajah Pak Lurah dengan sorot mata ebrbinar. Sepertinya dia memendam harapan. Beberapa saat, tak ada kata-kata. Pak Lurah lantas mendesah panjang.
“Sekarang kalian pulang ke rumah masing-masing. Biarlah perampok ini di sini.” Kata Pak Lurah pada warga desa.
“Nanti dia kabur, Pak,” seorang warga menyahut.
“Percayalah.”
“Kami akan tetap di sini, Pak Lurah. Kami tak ingin perampok ini lepas.”
“Kan ada petugas hansip?”
Pak Lurah terlihat berbicara dengan sang perampok, tapi tak terlalu jelas bagi kami. Beberapa saat setelah itu, datanglah mobil patroli. Setelah terlibat pembicaraan dengan Pak Lurah, para polisi itu segera membawa perampok keluar dari desa kami. Entah ke mana.
“Kita serahkan urusannya pada pihak yang berwajib. Sekarang pulanglah kalian semua.”
Ya, perampok yang dibawa oleh polisi itu adalah anakmu. Aku melihat pada lengan kanannya ada bekas bacokan memanjang. Yang namanya bangkai pasti akan berbau jua. Lewatlah di jalan-jalan, pasti semua orang akan nyinyir memandangmu.
Tiba-tiba aku tersentak. Tengan malam yang pekat, kaca rumahku dihantam dari luar. Tiga kali, kaca pintu dan jendela pecah berantakan. Aku cepat-cepat keluar. Begitu pintu terkuak, sebuah pukulan sekonyong-konyong menancap di pipiku, lantas disusul lagi dengan pukulan-pukulan berikutnya secara beruntun. Beberapa orang serentak mengeroyok aku. Aku menjadi oleng. Seperti ada pula benda keras yang dihantam ke tubuhku. Dan ketika beberapa tendangan mendarat di perut, aku pun roboh. Dalam waktu yang bersamaan aku mendengar ada bunyi sepeda motor meraung-raung. Mereka kemudian kabur dengan cepat.
Ini pasti ulah busuk anakmu. Sebab du ahari setelah itu orang-orang kampung banyak yang melihat bahwa anakmu pulang ke rumah pada malam hari. Dia telah dibebaskan. Beberapa saja yang kaubayarkan sehingga pengadilan pun tercampak ke keranjang sampah.
Beberapa hari setelah itu, aku dipanggil ke kantor polisi. Aku diinterogasi dan dituduhi telah mencemarkan nama baik seseorang. Polisi telah mencecarku dengan segebok pertanyaan. Ternyata yang melaporkan akau adalah kamu! Bangsat!
Kalau toh aku dipenjara karena persekongkolanmu dengan pihak-pihak terkait, biarlah. Toh semua orang sudah tahu. Perampok yang tertangkap dini hari itu adalah anakmu!

Surabaya, 27 Juli 1999


pada cerpen di atas menceritakan mengenai kisah seorang perampok yang mana ada seorang perampok yang tertangkap warga namun keluarganya tak terima bahwa anaknya adalah seorang perampok dan membela mati-matian. Dari cerpen di atas terlihat sekali bagaimana hukum tidak dijalankan dengan baik terhadap orang yang bersalah semua dapat di kalahkan dnegan adanya kekuasaan dari suatu pihak hal itu terlihat jelas pada cerpen di atas. pada cerpen ini juga banyak digunakan penggunaan bahasa personifikasi yang mana dapat menambah keindahan dalam pengemasan cerpen tersebut.
kekurangan dari cerpen di atas adalah latar tempat yang tidak dijelaskan dnegan detail selain penggambaran tokoh aku juga tidak dijelaskan dnegna jelas.














Minggu, 20 Mei 2018

Kritik dan Esai Cerpen ''KAKEK'' Karya M. Shoim Anwar



M. Shoim Anwar
KAKEK
           
            Meski saat berbuka puasa masih sekitar  satu jam lagi, Kakek ternyata sudah duduk menghadap meja makan yang sudah lengkap dengan berbagai masakan. Kalau hanya sekadar duduk tentu tak ada masalah. Tapi Kakek memang kakek. Apa yang dilakukan benar-benar aneh, ganjil, serta menggelikan. Pandangannya tak pernah dialihkan ke yang lain, dia selalu memandangi masakan itu. Sebentar-sebentar dia membuka tutup mangkuk sayur, mengangkat isinya dengan senduk, lalu menciumnya.
            “Segar...,” katanya manggut-manggut.
            Habis menikmati bausuk, Kakek berganti mengangkat piring ynag berisi daging goreng, diamat-amati dengan teliti, kemudian diciumnya bibir piring itu dengan pelan. Kelihatannya Kakek benar-benar menikmati baunya, matanya dipejamkan sambil menarik napas dengan lembut.
            “Lezaaatt...,” katanya sambil meletakkan piring .
            “Puasa tidak boleh mencium-cium begitu, Mbah,” kataku.
            “Loh, itu tergantung niatnya,” Katanya dengan tenang.
            “Apa mencium pakai niat?”
            “Bukan begitu, mencium hanya untuk mengukur selera, bukan untuk menikmati.”
            “Tapi kan bisa nanti, Mbah, ketika mulai berbuka. Dicicipi dulu sebelum makan.”
            “Oaala... mencicipi itu bukan mengukur selera, tapi sudah menikmati.”
            Mendengar tangkisan-tangkisan Kakek, Ibu hanya tersenyum. Sambil melengkapi beberapa jamuan, lama-lama Ibu mengatakan padaku bahwa itu sudah menjadi kebiasaan Kakek. Aku sendiri tak tahu sudah berapa lama kebiasaan Kakek. Sudah dua tahun ini aku tidak pulang saat bulan puasa. Dan Kakek ikut keluarga kami juga baru dua tahun, tepatnya sejak aku mulai kuliah ke Jakarta.
            Ketika Ibu meletakkan kolak pisang ke hadapan  Kakek, Kakek langsung menyambutnya dengan muka berseri-seri. Kentara sekali bau asap kolak pisang itu menebarkan aroma yang merangsang. Kakek pun segera bangkit dan mendekatkan hidungnya ke arah asap kolak di atas cawan.
            “Benar-benar nikmat...” Kata Kakek sambil menepuk-nepuk bibir cawan.
            “Puasa kan nggak hanya nahan makan dan minum, Mbah, juga harus menahan nafsu untuk mencium-cium masakan seperti itu. termasuk menahan pandangan, pendengaran, dan ucapan-ucapan yang tidak baik,” aku sedih berdalih.
            Tapi Kakek hanya tersenyum, tak ada tanda-tanda keseriusan. Matanya terus berlompatan dari piring satu ke piring yang lain, dari mangkuk satu ke mangkuk yang lain. Tak ada yang terlewati.
            “Semua tergantung niatnya” Kakek mengulangi jawabannya.” Kita punya hidung ya untuk membaui, punya mata ya untuk melihat, punya telinga ya untuk mendengar, punya mulut ya untuk ngomong.”
            “Tapi hal-hal yang kurang baik itu bisa merusak pahala puasa, Mbah. Bahkan membatalkan.”
            “Lawong puasa kok karena pahala,” katanya dengan nada sangat tenang.
            “Lebih baik karena pahala dari pada karena paha.”
            “Poso-poso kok ngomong jorok.”
            “Terus karena apa lo, Mbah?”
            “Ya karena menjalankan perintah agama. Pahala itu urusan Gusti Allah.”
            Kakek segera mengambil sebuah mangga dari piring. Buah bewarna jingga itu dielus-elus, diamat-amati, dan akhirnya dicium juga. Lama sekali Kakek menghirup dengan mata terpejam.
            “Ah... sedaaaaap...”
            Betul kata Ibu. Kebiasaan Kakek ternyata berlangsung terus. Bahkan kadang-kadang, waktu berbuka kurang sekitar satu jam, Kakek sudah siap di meja makan, menciumi seluruh masakan dan menimang-nimang seperti anak kecil. Tetntu saja aku sering melihat Kakek menelan ludahnya karena terangsang oleh bau masakan.
            Lama-lama aku juga tau kebiasaan Kakek yang lain. Kakek ternyata suka mengumpulkan berbagai makanan di kamarnya. Aku sering melihat di kamar Kakek ada jambu yang tadi pagi berjatuhan di kebun karena habis dimakan codot malam harinya, sawo sebiji, kerupuk di plastik, juga beberapa jenis makanan eceran sebangsa jajan pasar. Semuanya disembunyikan di kamar. kakek ternyata seperti anak kecil yang baru belajar puasa. Kalau siang ngeluthus ke kebun-kebun untuk mencari rontokan buah-buahan. Sementara malam harinya aku sering menyaksikan Kakek kekenyangan karena melahap seluruh makanan simpanannya. Itulah sebabnya Kakek kalau sembahyang terawih memeilih yang lebih cepat selesai.
            Kami sekeluarga memang harus bersyukur bahwa kkakek sudi dan berkenan untuk mengerjakan puasa. Sebab, Kakek termasuk orang takhlukan. Artinya, Kkakek mau menjalankan perintah agama belumlah terlalu lama, lebih kurnag empat tahun yang lalu. Sejak masa kanak-kanak hingga setua ini, Kakek hidup dalam lingkup keluarga yang kurang
peduli dengan masalah agama. Sementara sejak menikah dengan Bapak, Ibu telah diboyong ke kota lain. Di kota terakhir ini lah Ibu mulai belajar dan menjalankan perintah agama. Tidak seperti di kota kelahirannya.
            Tidak ada yang tahu persis awal kesadaran Kakek. Sejak Nenek meninggal, Kakek memnag sering pergi ke keluarga kami, bahkan hingga beberapa minggu. Mungkin di sini Kakek menyaksikan cara hidup masyarakat yang begitu religius. Setiap waktu sembahyang tiba, terutama saat maghrib, kami selalu mengerjakan bersama-sama. Setelah itu kami, anak-anak, terus belajar membaca Al-quran dengan dibimbing oleh Bapak. Ini tentu berbeda dengan suasana keluarga Kakek saat Ibu masih kecil dulu. Boleh jadi di sini Kakek dihadapkan pada situasi yang membawanya ke keterjutan. Itu terlihat pada awalnya, Kakek seperti minder. Menurut pengakuannya, alif bengkong pun dia tidak mengerti, benar-benar asing dengan Al-quran.
            Mungkin secara iseng-iseng, Bapak menyuruh Ibu untuk mneyediakan sarung dan kopiah untuk Kakek. Ibu menurut. Ibu hanya mengatakan kepada Kakek untuk memakai sarung dan kopiah itu supaya pantas, seperti ornag sini layaknya. Mula-mula Kakek memang malu-malu, tapi dipakainya juga sarung dan kopiah itu.
            “Pantas, Mbah,” kataku pada saat itu.
            “Seperti santri,” kata adikku Laila
            “Ah bisa-bisa saja,” jawab Kakek sambil tersipu-sipu.
            “Masak pakai pakaian begini sudah dikatakan santri. Sekarang kan banyak santri yang nggak mau pakai sarung dan kopiah.
            Waktu maghrib pun tiba. Kami lantas sembahyang berjamaah. Sementara Kakek terlihat seperti tak tahu yang harus diperbuat, dia mondar-mandir di ruang depan. Tiba-tiba Yulkifli, adikku yang laki-laki, menyeret Kakek untuk ikut sembahyang. Anak kecil memang belum mampu mengukur perasaan, Kakek digelandang untuk sembahyang. Kakek tentu saja tak mampu menolak. Barangkali saat itulah untuk kali pertama Kakek melakukan (baca: ikut-ikutan) bersembahyang.
            Saat sembahyang berlangsung, terdengar adik-adikku yang kecil tertawa cekikikan menertawakan Kakek. Konsentrasi kami tentu saja terganggu. Seusai sembahyang aku mengetahui bahwa mereka, katanya, melihat Kakek roboh saat melakukan gerakan rukuk. Gerakan Kakek, katanya, juga tidak bisa seragam, tertatih-tatih mengikuti sehingga tertinggal terus. Bahkan Yulkifli mengatakan bahwa saat sembahyang tadi sarung Kakek sempat melorot dan Kopiahnya terjatuh saat sujud.
            Pagi harinya, Kakek tiba-tiba minta pulang. Kami tak mampu mencegahnya. Delapan bulan kemudian Kakek datang lagi. Kali ini terjadi kejutan besar. Kakek ternyata sudah bersembahyang dengan penuh kesadaran. Gerakan-gerakannya sudah fasih. Bahkan dia datang dengan membawa sarung dan kopiah sendiri. Beberapa buku tentang agama islam juga terlihat di dalam tasnya. Kami benar-benar bersyukur atas petunjuk Tuhan  yang diberikan kepada Kakek. Dengan demikian, Kakek bukan saja termasuk Kakek kami, tapi sekaligus keluarga kami. Antara status Kakek dan keluarga memang punya perbedaan besar. Ketika Nabi Nuh tidak berhasil mengajak anaknya untuk naik perahu saat terjadi bencana banjir, karena anaknya memang tidak beriman sehingga memilih jalan sendiri, Nabi Nuh langsung memohon kepada Tuhan, “Ya, Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku.”
            Tapi karena anak Nabi Nuh tidak beriman, Tuhan langsung berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termask keluargamu.”
Jadi, status yang lebih hakiki dimata Tuhan adalah keluarga. Dia diikat oleh simpul-simpul keimanan, sementara status anak, kakek, dan semacamnya, adalah sapaan antarmanusia yang dijalin faktor keturunan.
Yang tetap menjadi masalah adalah perbuatan kakek yang terus saja membaui dan mencium-cium segala makanan. Puasa demikian tentu saja terlihat ganjil, tidak arif, dan kurang mampu menahan hawa nafsu terhadap makanan. Jawaban kakek tetap saja sama ketika kami memperingatkan, “Semua itu tergantung niatnya.” Kami sudah mengatakan bahwa niat harus dibarengi dengan tindakan-tindakan yang tidak menyimpang, niat saja tidak cukup. Pun Kakek tetap saja mengendus-ngendus seperti kucing lapar. 
“Mbah tidak puasa! Mbah tidak puasa!,
Teriak adikku Laila dengan keras.
Aku segera ke ruang tengah. Ternyata betul, Kakek telah menghabiskan sepiring nasi, padahal masih pukul setengah lima sore.
“Lupa! Lupa!” kata Kakek sambil menyemburkan sisa-sisa makanan dari mulutnya. Dia lamtas berdiri dengan bengong menatap kami satu persatu.
“Namanya lupa ya nggak apa-apa. Kelupaan waktu puasa itu seperti dapat berkha atau rezeki,” kata Bapak. Dan Kakek segera ke belakang untuk berkumur.
“Makanya jangan nongkrong di meja makan terus, Mbah.” Kataku pada Kakek setelahdia tiba kembali di ruang tengah
“Apa kamu tidak percaya kalau saya lupa?” kakek menegaskan.
“Mbah nggak dosa?” tanya Yulkifli.


Dosa bagaimana? Justru saya telah mendapat berkah dna rezeki karena lupa, itu kata Bapakmu tadi.”
Bapak dan Ibu hanya tersenyum. Sementara Kakek kembali duduk menghadap meja makan. dia mulai memandang seluruh makanan yang ada. Hidungnya terus mengendus-endus. Dan kebiasaan itu tak kunjung berubah dihari-hari berikutnya. Seminggu kemudian, aku mendapati Kakek makan dengan lahap pada pukul lima sore.
“Lo, Mbah tidak puasa?” aku sepontan bertanya. Kakek seperti terjingkat.
“Masya Alloh, saya lupa. Demi Allah lupa,” jawab Kakek dengan tandas. Dia langsung berlalri ke belakang. Aku mnejadi ragu-ragu atas kelupaan Kakek sebab beberapa saat sebelum itu aku melihat Kakek mencium-cium seluruh masakan seperti biasanya. Begiut tipisnya batas antara ingat dan lupa.
Tiba-tiba terdnegar suara Yulkifli, “Enak juga menjadi orang tua yang gampang lupa. Kalau saat puasa, dapat rezeki dan berkah terus-terusan.”
“Ha haaaaa....,” kami tertawa bersamaan.”
“Yang penting niatnya,” kakek spontan menyahut. Dan dia segera kembali duduk menghadapi meja makan. kali ini matanya tertuju pada ceplok telur!

Surabaya, 1993-2003
Pada cerpen di atas menggambarkan sebuah tema mengenai kekeluargaan yang mana tokoh utamanya adalah seorang kakek. Di dalam cerpen di atas tokoh kakeh di gambarkan mempunyai watak yang pelupa dan seperti anak kecil. Pada cerpen di atas si kakek di gambarkan selalu lupa waktu berbuka puasa sehingga kakek selalu saja sudah berada di depan meja makan dan memandangi makanan yang sudah disajikan di meja. si tokoh kakek tersebut baru saja mempelajaripuasa dan  agama sehingga sifat kakek masih saja seperi anak kecil yang tidak bisa menahan lapar. setiap di tegur cucunya yang digambatkan dengan tokoh "aku" kakek selalu saja mengelak bahwa semua tergantung niatnya.

Cerpen di atas sangatlah unik dan memiliki pesan moral yang mana belajar agama tidak ada kata terlambat serta tidak  memandang usia dan kapanpun serta dimanapun, selain itu dukungan keluarga adalah hal yang utama saat kita belajar agama. Cerpen tersebut juga sangat menghibur pembaca karena watak dari si tokoh kakek yang pelupa dan sifatnya yang seperti kekanak-kanakan. Cerpen kakek ini sangatlah mudah untuk dipahami pembaca ceritanya juga tidak terlalu rumit dan bahasa yang digunakan juga menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Sehingga cerpen ini snagat menarik untuk dibaca dari berbagai kalangan karena tema ceritanya serta penggunaan bahasanya yang sederhana.